Makna Lagu Bento – Iwan Fals. Panggung Pestapora 2025 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, akhir pekan lalu, bergemuruh saat Iwan Fals menyanyikan “Bento” dengan gitar akustik sederhana. Pada usia 64 tahun, suaranya yang khas masih menusuk, membangkitkan nostalgia sekaligus refleksi sosial bagi ribuan penonton. Lagu dari album Seratus Tahun tahun 1989 ini kembali jadi sorotan, terutama setelah duet energik Iwan dengan band Inbox di HUT SCTV 35 Xtraordinary Agustus lalu, di mana ia harap lahir “Bento-Bento baru” untuk generasi muda. Di tengah isu ketimpangan ekonomi yang kian nyata pada 2025, “Bento” bukan sekadar hits lama, tapi kritik tajam yang relevan—seolah Iwan bisikkan, “Dunia ini penuh Bento, tapi suara kita bisa ubah itu.” BERITA BASKET
Makna dari Lagu Ini: Makna Lagu Bento – Iwan Fals
Lirik “Bento” seperti potret kejam strata sosial Indonesia era 80an, tapi tetap ngena hari ini. Iwan Fals gambarkan Bento sebagai sosok kaya raya yang rakus—”Dia kaya raya, dia punya segalanya”—tapi hampa empati, simbol pengusaha tamak yang eksploitasi rakyat kecil. Bagian “Bento, Bento, Bento, kau kaya raya” berulang seperti mantra sindiran, ungkap ketidakadilan: orang miskin berjuang, sementara elite tambah kaya dari korupsi dan monopoli. Iwan sendiri bilang, lagu ini terinspirasi pengamatannya terhadap pengusaha yang “punya segalanya tapi tak peduli orang lain”, bukan cuma kritik Orde Baru, tapi gambaran umum ketimpangan.
Lebih dalam, “Bento” ajak renungkan empati hilang di masyarakat. “Kau punya segalanya, tapi kau tak punya hati” simbol orang berkuasa yang buta sosial, ingatkan bahwa kekayaan tanpa kemanusiaan hanyalah hampa. Nama “Bento” dipilih Iwan untuk hindari sensor—bukan nama nyata seperti Umar atau Bakri yang punya pemilik—tapi jadi metafor abadi untuk “hama” elite. Di 2025, maknanya makin relevan: tengok saja isu oligarki di berita, lagu ini seperti cermin yang tak retak.
Apa yang Membuat Lagu Ini Populer: Makna Lagu Bento – Iwan Fals
“Bento” lahir di album Seratus Tahun 1989, tapi meledak lewat lirik tajam Iwan Fals yang campur folk rock sederhana: gitar akustik, harmoni vokal, dan irama cepat yang bikin mudah dihafal. Langsung jadi anthem perlawanan generasi 90an, sering dinyanyikan di demo mahasiswa dan panggung kampus. Popularitas bertahan karena Iwan: suaranya yang renyah dan gaya panggung autentik bikin lagu ini hidup di konser gratis seperti Gaung Merah SeGALAnya yang keliling Jawa hingga Kalimantan sepanjang 2025.
Kini, viral di TikTok dan Spotify—jutaan stream berkat cover musisi muda dan challenge lirik “Bento, Bento”. Duet Iwan dengan Kapolri Listyo Sigit di HUT Bhayangkara Juli lalu, di mana ia doakan “hama Bento berakhir”, tambah sensasi. Penghargaan Achmad Bakrie 2025 untuk Iwan di bidang seni budaya Agustus kemarin juga angkat lagu ini: disebut potret sosial ikonik bareng “Galang Rambu Anarki”. Singkatnya, populer karena relatable, energik, dan terus relevan di panggung seperti Pestapora—bukti lagu kritik tak pernah usang.
Sisi Positif dan Negatif Lagu Ini
Positifnya, “Bento” bangkitkan kesadaran sosial: liriknya dorong empati terhadap rakyat kecil, inspirasi perlawanan damai seperti demo anti-korupsi. Banyak yang bilang lagu ini “obat” frustasi ketimpangan, ajak refleksi diri—”Jangan jadi Bento, jadi pemberi”. Secara musik, aransemen folk rock-nya timeless, mudah diadaptasi live atau remix, cocok soundtrack dokumenter sosial. Di 2025, dengan isu ekonomi pasca-pandemi, lagu ini beri harapan: kritik bisa lahirkan perubahan, seperti harapan Iwan lahir “Bento baru” dari kolaborasi Inbox.
Negatifnya, lirik sinis bisa terasa terlalu generalisasi—”kau kaya raya tapi tak punya hati”—ciptakan stereotip elite sebagai musuh, abaikan nuansa. Di era sekarang, bisa picu polarisasi: pendengar muda anggap kuno, sementara yang tua bilang terlalu radikal. Plus, tema ketimpangan yang pilu tanpa solusi konkret kadang bikin pesimis, bukan motivasi. Meski begitu, kekurangannya justru bikin lagu ini autentik—kritik sosial tak pernah mulus.
Kesimpulan
“Bento” Iwan Fals tetap jadi lagu legenda yang tajamkan mata terhadap ketimpangan, dari 1989 hingga panggung Pestapora 2025. Maknanya soal empati hilang ajak kita bertindak, populer karena lirik ngena dan panggung energik, dengan positif sebagai katalis perubahan meski negatifnya ingatkan jangan terjebak sinisme. Di akhirnya, lagu ini bukti: suara sederhana bisa goyang hati jutaan. Mungkin, seperti harapan Iwan, “Bento” baru lahir dari generasi kita—bukan hama, tapi benih perbaikan.